KOMIK'S KOMPILASI #1
Organized by.
KOMIK'S
Production
Organized by.
KOMIK'S
Production
Kamu semua yg mau bikin demo lagu, bingung cari tempat recording murah dengan hasil yg memuaskan bisa hubungi team KOMIKS. recording semi_track hanya Rp. 50.000,- / Shif(4 jam). Info Hub Wahyu_KOMIKS 0888.165.165.6
Perkembangan Musik Underground di Indonesia sangat pesat. dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, mereka (baca: Underground’ers) berkembang dan makin berkembang. sebut saja dari berbagai aliran, seperti Ska; SkaCore; Punk; Punk Melodic; Metal; Black Metal; Death Metal; Hip-Metal; Hardcore; Grunge; Alternative; dan lain-lain. Penguasaan alat, materi lagu dan penampilan menjadi kunci / modal dasar para Underground’ers tersebut. jika saya diminta pendapatnya, pilih mana, Musik Indie Label or Major Label? saya tentu akan memilih Musik Indie Label. Karena, mereka dapat dengan leluasa mengeluarkan lirik-lirik yang lebih berkualitas daripada dengan musik-musik Major Label sekarang ini yang notabene hanya untuk mencari keuntungan semata tanpa mempedulikan masa depan si Band tersebut. dengan Indie Label mereka tidak dikejar-kejar target seperti di Major Label. dengan Indie Label, mereka akan mendekati kesempurnaan dalam menciptakan lirik serta irama dalam lagu. Banyak musisi dari Indie Label yang pindah jalur ke Major, tetapi kenyataannya setelah itu, mereka hanya menelorkan 1-2 album tok, setelah itu, mereka tidak kedengaran lagi batang hidung dan kupingnya. yang lebih parah lagi, mereka dapat pindah jalur (baca; aliran musik) demi keuntungan yang harus mereka dapat yang mana semua nya itu (termasuk lirik, lagu dan lain-lain) di kontrol oleh si Major Label tersebut. *DAMN ..!! menipu diri sendiri* terus terang, perkembangan musisi Underground di Indonesia sangat bagus, hanya saja kurang perhatiannya dari Major-major Label yang hanya mencari keuntungan semata. Banyak dari mereka-mereka yang menurut saya bagus dan mungkin dapat disejajarkan dengan Undergorunds Musik di luar negeri. Tetapi ada juga Perusahaan-perusahaan Indie Label yang mensponsori mereka. karena mereka perduli akan perkembangan musisi Undergorund di Indonesia ini. SALUT!! untuk perusahaan Indie Label tersebut dan Keep’in Rockin’ Guys …!! sampai jumpa di topik berikutnya ..
scene Indie, Pergerakan Melawan Arus >>>>>>>>>>> Di Indonesia, trend “pemberontakan” itu sebenarnya cukup lama digaungkan. “Di Indonesia. Trend indie dibuka oleh PAS Band,” kata David Tandayu dari KripikPeudeus (KP). Sejenak kembali ke belakang, PAS Band PAS tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Kekuatan indie dalam kacamata David, sebenarnya lebih berkaca pada “ramalan” John Nasbitt dalam bukunya Global Paradoks. “Dalam tulisannya, Naisbitt mengatakan kalau perusahaan-perusahaan besar kelak akan digerogoti oleh perusahaan-perusahaan kecil. Kalau mereka ingin selamat, harus merangkul perusahaan kecil itu,” jelas David yang juga seorang asisten dosen di sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka. Dalam komunitas indie di Indonesia, Kripik Peudeus termasuk sudah merasakan asam garam pergerakan musikalitasnya. ‘”Tapi kami melihat indie sekarang secara sistem makin rapi,” imbih David yang kerap ditulis dengan Day-Vee, vokalis dalam kelompoknya. David yang sebelumnya lama berkiblat ke scene hip-hop melihat perkembangan indie label cukup pesat perkembangannya. “Sebenarnya perkembangan masing-masing scene musik itu berbeda-beda,” timpalnya. Hiphop misalnya. Menurut David, hiphop harus berterimakasih kepada Iwa K, sebagai pembaru hiphop di Indonesia. “Dengar-dengar malah akan ada Tribute to Iwa K,” ucapnya serius. Dalam kacamata David, yang skripsinya pun bicara soal musik hiphop (“Meyakinkan dosen untuk setuju, sudah perlu perjuangan berat. Padahal musik lain langsung di-acc”), Hiphop jangan pernah memasang jarak dengan genre musik lain. “Menurut saya sih, perlu ada daerah abu-abu yang tidak dibatasi oleh apapun,” ucap cowok yang mulai bertubuh tambun ini kalem. “Intinya, hiphop jangan pernah membuat pembatasan,” tandasnya. Sebenarnya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada, termasuk perbedaan idelogi dengan genre lain, membuka diri dengan komunitas lain, menurut David, justru bisa memberi masukan yang berharga untuk komunitas hip-hop itu sendiri. Dalam sejarahnya di Indonesia, hiphop mulai berkembang tahun 80-an ketika era breakdance menjamur juga. “Dulu hiphop itu identik dengan gangster, pistol, kekerasan dan drugs,” terangnya lagi. Tapi kemudian ketika Tupac Shakur ditembak mati, menurut David, secara pelan-pelan itu menjadi era “the end of the gangster.” Kekuatan indie label menurut david adalah karena kemampuannya membuat opini yang tidak mainstream. “Bayangkan, mereka membuat zine sendiri, menulis apapun termasuk yang provokatif tentang band mereka. Dan itu mereka lakukan terus menerus supaya orang lain tertular virus mereka,” jelas David. Menurut David, komunitas hiphop itu besar. Dalam spirit yang sama, seorang Wendi, memilih disebut Wenz Rawk, mengatakan hal yang senada dengan David. Wenz yang lebih benyak berkiprah di area metal underground, punya pandangan yang tidak jauh berbeda dengan David. “Persoalan penggunaan istilah indie dan underground saja, sudah terjadi perdebatan panjang,” terang cowok yang kini memilih menjadi manajer band `riots` disco The Upstairs. Menurutnya, Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom `indie` dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non-mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasik mengenai istilah `indie atau underground` ini di tanah air. Sebagian orang memandang istilah `underground` semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang `sell-out`, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih `elastis` dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh meninggalkan istilah ortodoks `underground` itu tadi. Menyimak sejarah indie di Indonesia, kita akan dibawah sejarah panjang perjuangan meletakkan tataran eksis band-band metal yang sudah malang melintang di scene underground Indonesia. Mengutip sejarah yang Wenz tuturkan, Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy (Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Trencem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70-an. “Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar` dan `ekstrem` untuk ukuran jamannya,” jelas cowok berkacamata yang juga editor di salah satu majalah musik terkemuka ini. Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band-band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah hanya sedikit saja album rekaman yang terlahir dari band-band rock generasi 70-an ini. “Jakarta dan Bandung masih merupakan sentra dari pergerakan rock underground,” terang Wenz. Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini. PUNK Punk sebagai jenis musik, masuk ke tanah air pada tahun 1980-an, bersamaan dengan kegandrungan anak-anak muda pada grup band politis asal Inggris, Sex Pistol. Awal tahun 1990-an, beberapa anak muda di Bandung kemudian mencoba mengartikulasi budaya impor itu dengan berdandan punk: rambut berdiri (mohawk) yang dilengkapi berbagai asesoris khasnya. Agak unik ngobrol dengan komunitas ini. Mereka punya sikap tegas dan berani berbeda secara prinsip. “Menurut gue, punk itu mengembalikan kontrol atas diri loe sendiri. Do it Yourself dan anti kemapanan,” terang Ika, yang juga kerap disebut Peniti Pink, salah satu anggota komunitas punk di Jakarta. Dalam kacamata Ika, punk lebih kepada persoalan melawan, bukan memberontak. “Kami melawan ketidakadilan, melawan dari tekanan, bukan memberontak tapi melawan. Anti kemapanan dalam arti menolak segala sesuatu yang sudah jadi status quo,” tegas cewek yang dikontak via email itu. Sebagai seorang perempuan, Ika tidak merasakan adanya perbedaan perlakuaan antara punkers cewek dan cowok. “Dalam skala besar, keterwakilan punker cewek memang tidak sebesar yang cowok. Tapi sekarang sudah lumayan menonjol dan punya pengaruh juga,” tambah Ika. Menurut Ika yang kerap menulis soal punk dan perempuan, punk mampu melihat perempuan dengan lebih adil dan fair dibanding mainstream. Soal tudingan komunitas punk banyak mengumbar kata-kata provokatif, Ika menolaknya. “Tidak juga. Organ-organ politik dan agama di Indonesia, kayaknya malah lebih provokatif deh,” kilahnya. Tapi Ika tidak menolak jika punk juga menjadi bagian dari gaya hidup. “Punk juga bisa jadi fesyen, musik, atau apapun yang gue rasa punk bisa masuk ke dalamnya,” tandasnya Ika lagi. Tapi percaya atau tidak, Ika mengaku tidak berharap apa-apa dari scene punk di Indonesia. “Tidak ada yang gue harapkan,” tegasnya. Perkembangan scene punk –komunitas, gerakan, musik, fanzine, dan lainnya– paling optimal adalah di Bandung, disusul Malang, Yogyakarta, Jabotabek, Semarang, Surabaya, dan Bali. Parameternya adalah kuantitas dan kualitas aktivitas: bermusik, pembuatan fanzine (publikasi internal), movement (gerakan), distro kolektif, hingga pembuatan situs. Meski demikian, secara keseluruhan, punk di Indonesia termasuk marak. Profane Existence, sebuah fanzine asal Amerika menulis negara dengan perkembangan punk yang menempati peringkat teratas di muka Bumi adalah Indonesia dan Bulgaria. Bahwa `Himsa`, band punk asal Amerika sampai dibuat berdecak kagum menyaksikan antusiasme konser punk di Bandung. Di Inggris dan Amerika –dua negara yang disebut sebagai asal wabah punk, konser punk hanya dihadiri tak lebih seratus orang. Sedangkan di sini, konser punk bisa dihadiri ribuan orang. Mereka kadang reaktif terhadap publikasi pers karena khawatir diekploitasi. Pers sebagai industri, mereka anggap merupakan salah satu mesin kapitalis. Mereka memilih publikasi kegiatan, konser, hingga diskusi ide-ide lewat fanzine. (sumber: Djoko Moernantyo / www.kabarindonesia.com)
Stories of The PUNK Dari tahun ke tahun, musik punk terus mengalami perubahan bentuk. Yang ngak berubah adalah semangat pemberontakannya. Pantas nggak Greeen Day disejajarkan dengan Sex Pistols, atau The Ramones? Gimana sejarahnya punk… Kalau melihat band-band punk sekarang, yang kebanyakan anggotanya masih muda, ga’ nyangka deh.. bahwa aliran musik yang satu ini umurnya sebaya dengan Billie Joe Armstrong. Malah kalau dirunut, cikal bakalnya sudah ada sejak orang tua kita masih imut-imut. Padahal citra punk kan serba muda. Punk sebetulnya punya dasar sikap yang sama dengan musik rock ‘n’ roll waktu lahir tahun 1955 dulu musik yang menjadi milik pribadi generasi muda yang memberontak terhadap kemapanan, yang di jamin bakal dijauhin dan disebelin para orang tua. Waktu rock mulai kehilangan greget dan dianggap jadi monoton, mulailah ada kasak-kusuk untuk bikin jenis musik baru yang ekstrim sebagai reaksi melawan kejenuhan tadi. Dari keresahan itulah aliran punk lahir. Tidak seperti heavymetal misalnya, punk lebih mengutamakan pelampiasan energi dan curhat daripada aspek teknis bermain musik. Pokoknya nggak usah jago-jago amat, pokoknya oke dan yang namanya unek-unek bisa keluar. Asal tahu aja, almarhum Sid Vicious dari Sex Pistols itu terkenal nggak bisa main. Tapi orang toh nggak memandang remeh dia. Malah dianggap cool. Nah, kelonggaran inilah yang menjadi daya tarik utama bagi para pemusik aliran ini. Mereka kebanyakan mulai dengan menonton band punk lain, kemudian mikir ini sih gampang, gue juga bisa. Lantas mereka pun ngumpul bareng, bikin lagu sendiri, dan berdiri deh satu band baru. Lantas kalau ternyata ada banyak band sealiran terpusat di satu lokasi atau kota, timbulllah apa yang disebut scene. Isinya ya orang-orang yang punya minat dan pandangan yang serupa, yang hobi nonton konser grup-grup lokal dan mendukung mereka, entah jadi promotor, bikin majalah (lazimnya disebut fanzine), mendirikan sebuah perusahaan rekaman kecil-kecilan untuk merilis single atau album grup-grup tersebut tersebut, atau sekedar rajin ikutan nongkrong. Lazimnya mereka ini saling kenal satu sama lain, dan yang aktif ya orangnya itu-itu lagi. Malah nggak jarang beberapa profesi di atas itu dirangkap oleh satu orang. Tangannya lebih dari dua ‘kali ! Nah, sejak lahirnya, gerakan punk merupakan rangkaian scene demi scene yang bermunculan di berbagai penjuru yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Makanya, sejarah punk lebih enak diulas dengan membahas beberapa scene yang paling menonjol, satu demi satu. Sampai tahun 1950-an, jarang ada artis atau grup yang memainkan alat musik sendiri. Mereka biasanya cuma mengurusi masalah vokal, sedangkan urusan penulisan lagu dan memainkan instrumen biasanya dipercayakan kepada para ahlinya. Grup-grup vokal di masa itu praktis menurut saja pada kemauan perusahaan rekaman mereka. Lantas pada tahun 1964, terjadi serbuan besar-besaran grup asal Inggris ke Amerika. Biang keladinya siapa lagi kalo bukan The Beatles. Melihat trend baru ini, remaja Amrik pun sadar bahwa sebuah grup sanggup mengerjakan semuanya sendiri. Maka di berbagai pelosok Amerika, anak-anak sekolah pun mulai membentuk band dan latihan di garasi rumah mereka sendiri. Karena mereka baru belajar, musiknya pun nggak bisa yang susah-susah amat. Mereka cenderung belajar dari grup-grup yang alirannya simple tapi nge-rock, macam Rolling Stones, The Who sampai Yardbirs, yang musiknya lebih menitik beratkan pada riff dan power, bukan struktur lagu yang njelimet. Maka ketika mereka pada gilirannya mulai menulis lagu sendiri, musik mereka mempunyai ciri khas sederhana tapi kenceng atau berpower, biasanya dengan satu riff gitar yang di ulang-ulang. Tapi meski bentuknya masih primitif, musik yang mereka ciptakan mampu menggugah semangat pendengar. Sesuai dengan tempat kelahirannya, orang memberi julukan untuk warna musik ini: Garage Rock (Rock Garasi). Grup-grup yang lahir contohnya The Standells, The Seeds, The Music Machine, The Leaves, dll. Dan dari sini lahirlah sound yang selanjutnya berkembang jadi Punk Rock. Memasuki dekade 70-an, punk mulai menemukan bentuknya seperti yang kita kenal sekarang. Ciri pemberontakannya makin kentara, dan segala rupa aksi panggung yang ugal-ugalan pun mulai muncul. Dari generasi pelopor punk ini ada dua nama yang boleh disebut paling menonjol yaitu MC 5 dan Iggy and The Stooges. Iggy adalah salah satu dari segelintir pentolan punk yang kiprahnya masih berlanjut sampai dasawarsa 90-an. Dan seiring dengan lahirnya generasi baru punk rock, namanya pun makin diakui sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam musik rock pada umumnya, punk khususnya. Tahun 1975 lahirlah beberapa grup musik baru seperti Blondie yang ngepop, Talkin Heads yang Avant Garde, The Voidoids yang berkutat dengan gitar, dan The Dead Boys yang nyeleneh. Dan ada The Ramones. Ramones punya citra seperti tokoh kartun. Empat anak jalanan asal Queens yang tampil gahar dengan dengan jaket kulit dan jeans belel, seperti geng. Gerombolan ini pancang mitos bahwa mereka satu keluarga. Pada tanggal 4 Juli 1976, Ramones mengadakan konser perdananya di Inggris. Entah itu tanggal keramat atau apa, konser mereka meninggalkan bekas yang dalam dalam diri kaum muda Inggris yang menyaksikannya. Konser itu disaksikan oleh para pentolan grup yang belakangan memotori kebangkitan punk di Inggris. Yaitu The Sex Pistols, The Damned, dan The Clash. Sex Pistols dan The Clash memasukkan aspek baru dalam perkembangan punk, yaitu protes sosial dan politik. Kedua grup ini menjadi penyambung lidah kaum muda Inggris yang frustasi. Mulailah mereka menyuarakan protes terhadap segala ketidakadilan yang mereka lihat sehari-hari. Cuma saja pendekatan mereka berbeda, sesuai latar belakang kehidupan masing-masing. Di tahun 1980-an, sementara era punk di Inggris datang dan pergi, dampaknya mulai terasa di berbagai penjuru dunia. Banyak negara yang menjawab tantangan Inggris dengan mencetak grup-grup punk yang belakangan juga menjadi legenda setempat. Irlandia, misalnya punya The Understones. Australia ada The Saints. Dan Selandia Baru muncul nama The Clean. Di Amerika gelombang terbaru pemusik punk AS bukan berasal dari New York, melainkan California. Generasi ini mendapat pengaruh yang sama besar dari The Ramones dan Sex Pistols. Tapi agak lain dengan ke dua mentornya itu, mereka sangat serius menghayati prinsip-prinsip dasar punk. Bagi mereka punk bukan sekedar aliran musik, melainkan juga identitas, gaya hidup, bahkan juga gaya hidup bahkan prinsip. Di selatan LA, tepatnya di Hermosa Beach, sebuah kelompok punk metal baru bernama Black Flag bela-belain nyewa gereja sebagai tempat latihan mereka. Tempat ini selanjutnya menjadi pusat kegiatan pecinta punk setempat. Grup-grup yang lahir disini lebih berhaluan keras daripada yang di Hollywood. Penampilan lebih brutal, dan liriknya lebih radikal. Disini lahirlah The Circle Jerk, Social Distortion, Suicidal Tendencies, dll. Sementara di San Francisco aliran punk lebih berpolitik. Di sini lahir nama-nama macam The Avengers, The Dils, dan yang paling dominan The Dead Kennedys. DK melancarkan protes keras terhadap berbagai hal mulai dari kebijaksanaan pemerintah sampai fasisme. Musik mereka berada di perbatasan antara punk yang melodius dan hardcore murni. New York juga melahirkan grup-grup yang belakangan memeperkaya musiknya dengan unsur lain, seperti Beasty Boys dan Sonic Youth. Dan ada juga The Misfits, yang mengungsi dari New Jersey. Pada akhir tahun 1980-an benih kebangkitan generasi kedua mulai ditanam di LA. Dulu sekali, awal dasawarsa ini, di San Fernando pernah berdiri sebuah grup band bernama Bad Religion. Kenggulan BR antara lain karena personilnya rata-rata memang “ngotak” . Saking inteleknya , lagu mereka sering memakai kata-kata yang membuat orang Amerika aja harus buka kamus. Bad Religion merupakan band yang memelopori berdirinya generasi baru grup-grup punk California. Sebut aja macam Dag Nasty, Pennywise, NOFX, dan belakangan tentu saja Rancid dan Offspring. Album Offspring Smash pada tahun 1995 mencatat rekor sebagai album independen paling laris dalam sejarah. Sementara Rancid juga mencatat angka penjualan yang sangat tinggi. Punk telah berhasil membuktikan kemandiriannya Family Tree Punk Ternyata punk itu punya banyak “sodara”. Mulai dari grincore, black metal, heavy metal, skinhead, bahkan sampe ska. Makanya, nggak usah heran kalo mereka kayak sohiban. Motto equality (persamaan hak) sangat dijunjung tinggi. Nah, biar nggak bingung, berikut ini pembagian “keluarga” punk menurut Oscar (sori musti pake nama samaran) salah seorang punkers sejati. Makin kenal, makin paham! Punk Rock Berkembang di Inggris sekitar tahun 70-an. Musik: warna rock n’ roll masih kuat, masih bermelodi. Contoh: Sex Pistol, The Clash, Ramones. Ciri khas: Jaket kulit, rambut jabrik/acak-acakan, dan sepatu boots. Street Punk Musik mulai berdistorsi kasar dengan beat yang cepat. Lirik vulgar dan penuh caci maki dan anarkis. Contoh: Casualities, Circle Jerks, Eksploited. Ciri khas: Jaket kulit plus aksesoris paku,celana jeans ketat, rambut jabrik, mohawk, boots doc mart/converse. Bagian dari Street Punk : HardCore, HardSkin, Punk HardCore, Scoin Kore. SkinHead
"Stories of Grunge"Bermacam peristiwa besar tergelar hingga tercatat bukan hanya dalam tinta emas tapi menjadikan sejarah yang memiliki arti. Tak kecuali yang berlaku dalam sejarah musik pop. Saat The Beatles tampil di Cavern CLub (1962), Bob Dylan di Newport (1965), Jimi Hendrix di Woodstock (1969) adalah antara lain peristiwa-peristiwa itu, “dan….saat Nirvana merilis album In Utero, pada September 1993, “kata seorang eksekutif dari Geffen Record. In Utero? Kenapa justru nggak saat Nirvana merilis album Nevermind (Oktober 1991) yang laris jutaan copies itu? Nevermind memang jadi pembuka jalan. Tapi In Utero jadi bukti. Bukti bahwa Grunge (baca:granch) sebagai alternatif rock punya nilai jual sama tinggi dengan corak musik lainnya dalam industri musik dekade ini. Terjual diatas 3 juta copies (di pasar Amerika saja, Juni’94), In Utero jadi bukti, bahwa grunge bukan hanya geraman sesaat. Tapi makin melaju, menggerung tak terbendung sepak terjangnya di blantika rock dunia.Grunge “mahluk” apa ini? layaknya musik, tak satupun definisi yang bisa mematok arti sebenarnya dari grunge ini. Ia bisa berarti sesuatu yang “seenaknya”, “ketidakteraturan”, “antipola”, bahkan “kesederhanaan”, atau malah “bunyi memekakan laksana teriakan babi”? Apalah mau disebut. Toh semua bisa saja dipaskan. Yang pasti, grunge jadi salah bentuk yang mengemohi kemapanan dalam pergaulan rock. Ia menawarkan pilihan lain dari sebangsanya hardrock, heavymetal yang dianggap sudah kelewat kuno. bahkan sementara punk rock yang dianggap sudah kehilangan semangat. Dan datanglah grunge memberi alternatif. “…AWALNYA ADALAH BUNYI, DAN JADILAH MUSIK. AWALNYA ADALAH PERISTIWA, DAN JADILAH SEJARAH….” Sebagian literatur menyebutkan grunge lahir sejak era jayanya punk ditahun 70-an dan bermuara di Minneapolis, dan sejak tahun 80-an mulai bergerak kekawasan pantai barat laut (northwest) Amerika. Dengan musik nyaris minus sound effect, kecuali suara gitar yang sangat kasar, musik grunge dinilai banyak kritisi musik tak lebih dari Rock n’ Roll minus attribut. Apakah attribut yang dimaksud adalah jaket kulit, rambut kaku ber-hair spray, kalung gelang metal, kostum mengkilat, atau lampu warna warni dan kembang api di panggung konser? Mungkin iya. Tapi, grunge toh nggak lahir dengan sendirinya. Ia bisa tidak sama dengan hardrock atau heavymetal. Namun dia adalah anak dari hardrock era 70-an (diantaranya musik yang dibawakan macam KISS, Black Sabath, AC/DC pada saat itu) yang berpasangan dengan punk rock (diantaranya seperti yang diusung Sex Pistols atau Ramones). Pengertian model begini, mungkin jadi lebih gampang diterima. Karena melacak jejak berdasarkan sejarah perjalanan mungkin lebih memperjelas. Toh tak satupun musik yang mau di-kubu-kan, atau dikotak-kotakkan. Tapi yang kemudian jadi pertanyaan dengan “Q” besar, apakah setelah grunge menjadi genre tersendiri, atau setelah grunge menjadi salah satu roda penggerak industri musik, masihkah juga pantas sebagai alternatif? Jawabannya “BOLEH” tidak dengan “N” besar. Layangkan saja pandangan ke Seattle dinegara bagian Washington sana. Pasang saja telinga mulai dari kawasan pantai barat sampai dengan ke west coast di Amerika sana. Siapa yang bisa menyangkal besarnya grunge. Hingga ia pun -suka atau tidak- sudah menjadi pola, melahirkan keteraturan. Dan NIRVANA memang tidak sendiri. Sekedar menyebut nama Pearl Jam, Alice In Chains, Soundgarden, Mudhoney adalah mereka yang telah mengecap manisnya madu industri musik lewat musik ini. Dan Seattle pun maki sah saja jadi kiblatnya grunge. Seperti menyebut hal yang sama dengan Nashville untuk country, New Orleans untuk blues atau hardrock/heavymetal untuk LA. Pdahal ketika tahun ‘88 saat Mudhoney merilis single Touch Me I’m Sick, cuma 2 bar dan 1 klab kecil di Seattle yang mau memutarnya. Artinya, Seattle sendiri belum bisa menerima musik semodel yang diusung Mudhoney. Kondisi seperti ini tentu saja bikin ngeri sebagian rocker di Seattle. Makanya mereka pun hijrah dari Seattle. Sebut aja The Blackouts, group yang mengusung punkrock ini cabut ke chicago dan di kemudian hari dikenal dengan Ministry. Lantas gitaris Duff Mckagan keluar dari Ten Minute Warning, dan berangkat ke Los Angeles, lantas mengkilap sebagai pembetot bas Guns N’ Roses. Tapi itu semua kisah lama dan semua berubah dengan cepat. Seattle jadi tujuan utama banyak group-group rock asal LA datang ke kota itu.Jangan ditanya kiprah media massa khusus musik, mereka mengakat profil Seattle sebagai laporan utamanya,dan akhirnya banyak perusahaan-perusahaan rekaman besar, jaman “perburuan emas” pun sudah dimulai. Dan istilah baru pun lahir “Seattle Sound”. Inilah istilah yang menunjuk pada warna musik rock yang diusung grup-grup asal atau jadi besar di Seattle. Karakteristik Seattle sound inilah aplikasi dari grunge (yang juga merupakan istilah) bahkan dengan garis batas yang nyaris makin besar hingga hampir semua grup digolongkan mengusung Seattle sound. Mau diang yang bernama The Melvins, Ten Minute Warning, U-Men, Soundgarden, Skin Yard, Screaming Trees, TAD, Nirvana, Mudhoney, Mother Love Bone, Alice In Chains, Pearl Jam, Hole,… dan masih banyak lagi tuh. “Tapi lembaran awal grunge sebetulnya dibuka oleh Jimi Hendrix,”klaim satu literatur”. Yeah, mungkin saja. Yakni ketika Hendrix masih berumur 11 tahun (1953), saat itu ia menyiram cairan ke sekujur gitar dan menyetel volume amplifier sampai ke angka maksimum. Namun tabir blantika grunge mulai terbuka pada tahun 1986, ketika album kompilasi Deep Six dirilis. Di album itu tampil antara lain Soundgarden, Green River, juga The Melvins. “Kami main bareng, kami bincang-bincang, apa yang kami suka juga yang kami benci,” kenang Chris Soundgarden Cornell. Begitu bebas, begitu lepas, itulah cerminan yang terpantul dari sikap bermusik para pengusung grunge. Termasuk menempatkan bermusik sebagai hobi belaka bukan untuk merangguk uang. Artinya mereka cukup senang jika masuk rekaman lalu diedarkan oleh perusahaan rekaman kecil dan tidak peduli mau laku atau tidak. Tapi perjalanan waktu pun membuat keropos tiang-tiang prinsip. Sebagian pengusung grunge mulai yakin bahwa musik bisa menjadi penopang hidup. Seperti yang diproklamirkan pertama kali oleh Jeff Ament, Stone Gossard, dan Andy Wood. Namun komunitas rock di Seattle tak gentar. Mereka lantas memproduksi album memori Temple of the Dog. Di album ini pun hadir Chris Cornell, teman sekamarnya Wood. Oh…ya, Jeff Ament dan Stone Gosard di kemudian hari berkibar lewat Pearl Jam. “…AWALNYA ADALAH POPULARITAS, DAN JADILAH NIRVANA YANG TERATAS. AWALNYA ADALAH PUTUS ASA, DAN JADILAH KURT COBAIN MELEDAKAN KEPALA….” Kurt Cobain gitaris, vokalis sekaligus tonggak Nirvana ditemukan tewas 8 April 1994 sekitar pukul 9 pagi dirumahnya di Seattle. Dan bendera setengah tiang pun dikibarkan dipuncak grunge. bahkan bisa jadi untuk blantika musik pop dunia. Tapi, Seattle Sound tak akan pernah redup, grunge tak akan berhenti menggerung. Elo semua… boleh percaya itu !!